Dieng, Tempat Para Dewa Bersemayam
Nama “Dieng” berasal dari bahasa Kawi, di mana “di” berarti tempat, dan “hyang” berarti dewa. Secara harfiah, Dieng dapat diartikan sebagai “gunung tempat para dewa bersemayam.” Kawasan ini tidak hanya dikenal dengan pemandangan alamnya yang memukau, tetapi juga menjadi saksi bisu perkembangan budaya dan agama di masa lampau.
Sejarah Penemuan Candi Dieng
Kompleks Candi Dieng diperkirakan telah berdiri sejak abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi. Pada masa itu, para brahmana dari Kerajaan Kalingga mendirikan candi-candi sebagai tempat pemujaan dewa Siwa. Lokasi Dieng yang dekat dengan pusat Kerajaan Kalingga, yakni di sekitar Pekalongan dan Batang, menjadikannya pusat spiritual yang ramai dikunjungi oleh raja, bangsawan, dan brahmana.
Awalnya, kawasan Dieng diperkirakan memiliki sekitar 100 candi. Namun, karena faktor alam seperti curah hujan tinggi, longsor, letusan gunung, dan banjir, hanya delapan candi yang bertahan hingga saat ini. Delapan candi tersebut ditemukan pada awal tahun 1800-an dalam kondisi rusak dan sebagian terendam air, mengingat kawasan Dieng berada di cekungan tanah.
Upaya Pemugaran oleh Pemerintah Hindia Belanda
Pada tahun 1856, Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan upaya rekonstruksi terhadap candi-candi di Dieng. Salah satu prasasti yang ditemukan di sekitar Candi Arjuna mencatat bahwa candi tersebut dibangun pada tahun 808-809 Masehi. Hal ini menegaskan bahwa Candi Dieng merupakan salah satu kompleks candi tertua di Jawa.
Pesona Candi Dieng di Masa Kini
Selain nilai sejarahnya yang tinggi, Candi Dieng kini menjadi destinasi wisata populer bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Misteri dan keunikan kompleks candi ini tetap menjadi daya tarik tersendiri, membuat Dieng tidak hanya menjadi tempat bersejarah, tetapi juga simbol kekayaan budaya Indonesia.
Dengan segala keindahan dan kisah di baliknya, Candi Dieng adalah bukti nyata keagungan peradaban masa lalu yang masih bisa dinikmati hingga hari ini.