Sejarah Desa, Dinamika Dan Perubahan Paska Terbitnya UU Desa

Desa merupakan bagian terkecil dari susunan negara Indonesia. Keberadaan desa identik dengan kehidupan masyarakatnya yang gemar gotong royong dan masih mempertahankan adat-istiadat dengan kuat. Perlu kalian ketahui, desa di Indonesia pertama kali ditemukan oleh orang Belanda bernama Herman Warner Muntinghe yang merupakan anggota Raad van Indie (organisasi bentukan Belanda di Asia) pada masa penjajahan Inggris tahun 1811. Herman dalam laporannya yang tertanggal 14 Juli 1817 menyebutkan keberadaan desa-desa di daerah pesisir Utara Jawa. Selang beberapa waktu kemudian, ditemukan lagi desa-desa di luar Jawa yang memiliki karakteristik hampir sama.

Seperti yang kita ketahui bahwa kolonialisme Inggris hanya bertahan sebentar di Indonesia. Setelah penandatanganan Konvensi London pada tahun 1814, Belanda memperoleh kembali tanah jajahannya dari Inggris termasuk wilayah Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menerapkan kebijakannya di seluruh elemen pemerintahan bumiputera, termasuk desa. Undang-undang yang mengatur khusus tentang desa pertama kali terdapat dalam Regeringsreglemen (RR) tahun 1854 yaitu pasal 71 yang mengatur tentang kepala desa dan pemerintah desa.

Seiring dengan kemunculan politik etis, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) yaitu peraturan dasar mengenai desa khusus di Jawa dan Madura pada tahun 1906. Dengan dikeluarkannya undang-undang ini telah menjadikan desa-desa di Jawa dan Madura semakin terintegrasi dalam struktur pemerintahan kolonial Belanda. Setelah IGO 1906, maka diterbitkan juga peraturan perundang-undangan untuk wilayah di luar Jawa dan Madura yang terangkum dalam Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesteen (IGOB) tahun 1938. Adapun perbedaan antara IGO dan IGOB adalah sebagai berikut:

  • Adanya ketentuan mengenai kewajiban pemerintah desa untuk setiap akhir triwulan membuat anggaran belanja. Dalam IGO, hal ini tidak dilakukan
  • Ketentuan mengenai kerja bakti bagi warga desa untuk kepentingan umum. Di dalam IGOB warga desa yang tidak melaksanakan kerja bakti diwajibkan membayar ganti rugi dengan membayar sejumlah uang yang disetorkan ke kas desa
  • Mengenai tanah bengkok, di dalam IGOB tidak tercantum. Hal ini disebabkan karena di luar Jawa dan Madura tersedia banyak tanah yang bisa diusahakan oleh siapa saja

Dari banyaknya peraturan mengenai desa di bumiputera pada masa kolonial Belanda, rupanya terdapat tiga sifat penting yang bisa kita simpulkan dalam penerapannya, yaitu:

  1. Bersifat legalistik, artinya peraturan-peraturan yang dikeluarkan hanya berfungsi untuk memberikan legitimasi atau pengesahan pada peraturan-peraturan yang sebelumnya sudah diberlakukan dalam desa tersebut.
  2. Bersifat statis, yaitu memelihara status quo. Artinya peraturan-peraturan yang sudah diterbitkan dengan dalih menghormati hukum adat hampir tidak sama sekali memberikan inovasi baru yang bermanfaat bagi kemajuan desa, sehingga di masa kolonial, desa tetap dalam keterbelakangan.
  3. Bersifat parsial, artinya peraturan-peraturan yang sudah diberlakukan ternyata memiliki perbedaan penerapan di daerah-daerah tertentu. Keragaman dan perbedaan tersebut terus terpelihara sehingga masing-masing kelompok masyarakat daerah terdorong untuk membanggakan desanya dan berorientasi kepada kepentingan kelompoknya sendiri.

Setelah kemerdekaan

Pada masa ini cikal bakal aturan terkait dengan desa beserta sistem administrasinya diatur dalam UUD 1945, pasal 18. Bunyi pasal ini adalah :

Pembagian  daerah  Indonesia  atas  daerah  besar  dan  kecil,  dengan  bentuk  susunan  pemerintahannya    ditetapkan    dengan    undang-undang,    dengan    memandang    dan    mengingati  dasar  permusyawaratan  dalam  sistem  pemerintahan  negara,  dan  hak-hak  asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”

Meskipun tidak menyebut secara langsung tentang desa, namun pasal ini menyebut tentang hal asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Pada amandemen UUD 1945 yang kedua pada tahun 2000, pasal 18 ditambah menjadi beberapa pasal lagi. Salah satunya adalah pasal 18B yang berisi tentang pengakuan dan penghormatan negara tentang kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Presiden Soekarno

Pada tahun 1965, Presiden Soekarno menerbitkan Undang-undang No. 19 tahun 1965 tentang Pembentukan Desapraja. Pembentukan ini bertujuan untuk mempercepat pembentukan daerah pemerintahan tingkat III. Aturan ini juga menegaskan untuk menghapus unsur-unsur dan sifat-sifat kolonial-feodal yang ada dalam desa.

Menurut UU no.19 tahun 1965 ini, desapraja merupakan badan hukum yang dipimpin oleh seorang kepala desapraja. Lebih lanjut dalam pasal 7 disebutkan, “alat-alat kelengkapan Desapraja terdiri dari Kepala Desapraja, Badan Musyawarah Desapraja, Pamong Desapraja, Panitera Desapraja, Petugas Desapraja dan Badan Pertimbangan Desapraja.

Presiden Soeharto

Pada masa Orde Baru terjadi perubahan aturan tentang pemerintahan desa melalui Undang-undang No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang disahkan oleh Presiden Soeharto. UU ini memperbarui Undang-undang No. 19 tahun 1965. Hal yang signifikan istilah desapraja tidak lagi digunakan dalam aturan ini. Istilah yang digunakan adalah desa. Selain itu, sistem pemerintahan desa dihimbau agar seragam.

Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa sementara perangkat desa adalah sekretariat desa dan kepala-kepala dusun. Segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan dan administrasi desa berada di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri.

Presiden Habibie

Pada tahun 1999, Presiden Habibie mengeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan ini muncul salah satunya untuk merevisi penyeragaman nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa yang diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1965. Aturan sebelumnya dinilai tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul daerah.

Dalam UU No.22 Tahun 1999 Bab XI pasal 94 disebutkan pemerintahan desa meliputi pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa. Pemerintah desa yang dimaksud adalah kepala desa dan perangkat desa sebagaimana dijelaskan dalam pasal 95. Tanggung jawab kepala desa sebagaimana dijelaskan dalam pasal 102, ditujukan kepada rakyat melalui badan perwakilan. Selain itu, kepala desa wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada bupati.

BACA JUGA :  Budaya Tiup Terompet Di Tahun Baru, Benarkah Berawal Dari Bangsa Yahudi?

Presiden Megawati

Undang-Undang No.22 Tahun 1999 dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk merevisinya, Presiden Megawati mengesahkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam aturan ini, istilah Badan Perwakilan Desa diganti menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Selanjutnya, posisi sekretaris desa diisi oleh Pegawai Negeri Sipil yang dianggap mampu. Dalam pasal 200 ayat 3 ditetapkan desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda.

Dalam UU No. 22 Tahun 1999 masa jabatan kepala desa selama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan. Sementara dalam aturan ini, kepala desa menjabat selama enam tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan.

Presiden SBY

Pada tahun 2014 Presiden SBY mengesahkan Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Mengenai pemerintahan desa, aturan ini menyebut kepala desa sebagai pemerintah desa dibantu oleh perangkat desa. Sementara itu,  Badan Permusyarawatan Desa adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa.

Tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban kepala desa diatur secara rinci dalam pasal 26. Dalam pasal 27 dijelaskan kepala desa wajib memberikan laporan pelaksanaan pemerintahan desa kepada bupati/wali kota, Badan Permusyawaratan Desa, dan masyarakat desa.

Mengenai masa jabatan, kepala desa berhak menjabat selama enam tahun. Selanjutnya, yang bersangkutan bisa dipilih lagi sebanyak tiga kali baik secara berturut-turut maupun tidak.

Sekilas Tentang UU Desa

UU Desa/UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di hari yang sama dengan tanggal pengesahannya, UU Desa dinyatakan mulai berlaku. Di dalam UU tersebut, terkandung 16 bab dengan 122 pasal.

Penyusunan dan pengesahan UU Desa didasarkan pada sejumlah pertimbangan, yang terangkum pada lembar pertama dokumen UU.

Pertimbangan pertama adalah desa memiliki asal usul dan nilai tradisional tersendiri, yang membuat desa memiliki hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya yang selaras dengan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD 1945.

Pertimbangan kedua, dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, desa dinilai telah berkembang dalam berbagai bentuk. Perkembangan ini diwarnai pula oleh pengaruh luar dan modernitas. Untuk itu, desa perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat melaksanakan pemerintahan dan pembangunan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Pertimbangan ketiga, dengan berbagai karakteristik dan keunikan yang dimilikinya, desa dinilai perlu untuk diatur oleh UU tersendiri. Aturan ini terutama perihal susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, garis besar UU Desa mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Banyak aspek atas kedua hal tersebut, termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan pemerintahan desa, kedudukan dan jenis desa, kewenangan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa, keuangan dan aset desa, pembangunan kawasan perdesaan, dan lembaga kemasyarakatan desa serta lembaga adat desa.

Berbagai hal tersebut menjadi angin besar bagi pemerintah desa, khususnya desa-desa adat seperti nagari di Sumatera Barat dan kampung di Papua. Melalu pasal-pasalnya, UU Desa memberikan kekuasaan dan kesempatan yang lebih besar bagi desa adat untuk mengatur diri mereka sendiri. Kesempatan ini memampukan desa untuk tetap berdiri pada identitas kultural yang sejati dan tidak tergerus oleh penyeragaman dalam sistem pemerintahan (Kompas, 28/11/2014, Mengembalikan Hakikat Desa Adat).

Mengacu pada buku Desa Kuat, Indonesia Hebat! oleh Budiman Sudjatmiko dan Yando Zakaria, semangat dan kesempatan yang diusung UU Desa tersebut menjadi pengejawantahan dari amanat reformasi dan pembangunan nasional. Semangat reformasi telah melepaskan masyarakat Indonesia dari kekangan totalitas rezim pemerintahan, dalam hal ini adalah Orde Baru. Meski begitu, semangat ini jangan sampai hanya berkobar di kota-kota dan harus dipikul masuk juga dalam ruang desa.

Dalam konteks demikian, Yando Zakaria menuliskan bahwa reformasi baru terpenuhi apabila desa telah mampu merealisasikan pengakuan atas asal-usul dan keunikannya. Pengakuan tersebut harus diberikan di hadapan negara dalam konteks sosial-budaya nasional yang memang beragam.

Pengakuan ini dapat ditelisik melalui ada atau tidaknya kebijakan negara yang memberikan hal keberlakuan pada tata organisasi, tata aturan, dan keulayatan masyarakat desa. Perbedaan ketiga elemen ini pada tiap-tiap desa dipengaruhi oleh sejarah masing-masing yang juga sangat beragam.

Dengan pengakuan atas tiga elemen tersebut, maka negara telah mendukung keberagaman desa dan menempatkannya pada posisi yang utama. Melalui UU Desa, hadirnya desa diharapkan tidak lagi semata sebagai korban penyeragaman kebijakan, anggaran, dan sistem pemerintahan, melainkan berjalan dan terlibat dalam pembangunan dengan identitasnya sendiri.

Di Kantor Kepresidenan, Jakarta, pada 18 Desember 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan bahwa UU Desa dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan pembangunan masyarakat desa. “Kita ingin Indonesia ini mulai dari pusat sampai daerah, dari belakang sampai ke depan, dan desa di depan bukan di bawah. … Desanya kuat, negara kuat, kalau desa maju, negara juga maju,” katanya.

BACA JUGA :  Kisah Desa Sekapuk, Desa Milyader Di Gresik Yang Mantan Kadesnya Kena Kasus Penggelapan Aset Desa

Sekilas Sejarah UU Desa

UU Desa yang diundangkan pada tahun 2014 bukanlah produk hukum pertama yang mengatur soal desa. Terdapat sejumlah peraturan perundangan-undangan pendahulu yang menunjukkan perbedaan yang kontras dengan UU Desa 2014, terutama pada aspek keberpihakan dan akomodasinya terhadap keunikan desa.

Era Orde Lama

UUD 1945 sebagai landasan konstitusi Indonesia tidak mengakomodasi kehadiran desa. Dalam seluruh pasalnya, tidak ditemukan konsep “desa” sama sekali. Meski begitu, pada Pasal 18 ayat (1), dikandung amanat akan pembagian wilayah negara ke dalam daerah-daerah administratif yang lebih kecil. Pemerintah daerah memegang kendali atas daerah tersebut yang diatur dengan UU. Sementara pada ayat selanjutnya, diamanatkan asas otonomi dalam pemerintahan tersebut.

Lebih lanjut, amanat pemerintahan daerah dalam UUD 1945 mendapatkan rinciannya melalui UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah. Tugas Komite Daerah adalah membantu kepala daerah untuk menjalankan pemerintahan harian.

Dalam UU inilah, pada bagian “Pendjelasan Undang-Undang 1945 No. 1”, dijelaskan mengenai adanya faham “decentralisatie” (desentralisasi) yang memberikan otonomi desa. Terdapat wacana untuk pembangunan ulang bangunan-bangunan lama di desa untuk digantikan dengan bangunan operasional baru. Untuk itu, agar tidak semata menjadi keputusan pusat, masyarakat desa dapat mengajukan suaranya melalui Menteri Dalam Negeri.

Peraturan perundang-undangan yang lebih spesifik dalam membahas desa muncul pada 1 September 1965, melalui UU Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Dengan kembali berlakunya UUD 1945 pasca Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959, pemerintah menilai perlunya penyingkiran terhadap segala unsur kolonial-feodal, termasuk dalam perundangan tata-desa.

UU Nomor 19 Tahun 1965 menyatukan seluruh konsep wilayah kesatuan tingkat desa ke dalam nama “Desapraja” sebagai daerah tingkat III. Padahal, tiap-tiap wilayah di Indonesia memiliki konsep desanya sendiri, seperti Kampung atau Negeri di Sumatera; Desa di Jawa, Bali dan Madura; Wanua di Sulawesi; Lomblan di Nusa Tenggara Barat; Kedaton atau Kedaluan di Nusa Tenggara Timur dan Hoana Negory di Maluku dan Irian Barat

Selain itu, UU ini juga dimaksudkan agar peraturan perundangan yang baru dapat menjamin tata-perdesaan yang lebih dinamis dan penuh daya-guna dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional yang demokratis dan pembangunan nasional semesta.

Era Orde Baru

Seiring dengan kejatuhan Orde Lama dan berbagai upaya de-soekarnoisasi, muncul ragam bentuk kebijakan baru. UU Nomor 19 Tahun 1965 pun ikut diturunkan, digantikan oleh UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang disahkan Soeharto pada 1 Desember 1979.

Secara umum, UU  ini mengatur perihal struktur pemerintahan desa, tugas dan wewenang pemerintah desa, tata cara pelaksanaan pemerintahan, keuangan desa, dan hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Semuanya tercantum dalam tujuh bab dan 40 pasal.

Meski begitu, mengacu pada Kompas (28/11/2014, Mengembalikan Hakikat Desa Adat), UU Nomor 5 Tahun 1979 justru cenderung mencerabut desa dari nilai-nilai tradisionalnya. UU Nomor 5 Tahun 1979 mengingkari keragaman lembaga dan kelembagaan desa di Indonesia yang sebenarnya memiliki hak asal-usul.

Meski telah membentuk Lembaga Musyawarah Desa (LMD) melalui Pasal 17, namun kehadiran LMD pun tak memiliki wewenang suara yang layak. Pasal 34 ayat (2) misalnya, memutuskan agar Bupati atau Walikota memiliki wewenang untuk mencabut keputusan desa, sekalipun keputusan tersebut dibuat melalui musyawarah desa. Pada dasarnya, kebijakan pemerintahan Orde Baru telah mengatur secara sangat detail dan terbatas semua kebijakan hingga tingkat daerah.

Ikut campur pemerintah berdampak pada keterbatasan suara desa. Pemerintahan terendah seperi desa dianggap tak lebihnya dari sekedar pelaksana aturan. Pihak desa, baik kepala desa maupun LMD, hanya tinggal menerapkan ketetapan-ketetapan yang telah dibuat oleh para elit politik secara ekslusif. Akhirnya, keputusan yang bisa dilakukan oleh kepala desa atau LMD terbatas pada masalah-masalah non-strategis.

Selain itu, UU Nomor 5 Tahun 1979 juga memberlakukan penyeragaman lembaga dan kelembagaan desa di seluruh Indonesia. Hal ini yang akhirnya justru membunuh keragaman lembaga dan kelembagaan tradisional desa sehingga tercerabut dari hak asal-usulnya. Keunikan dan keutuhan desa dengan keragaman kultur pun menjadi hancur.

Sebagai contoh, sejak tahun 1983, nagari Ujung Gading harus merubah pemerintahannya. Dari pemerintahan nagari menjadi pemerintahan desa. Nagari yang memang mempunyai beragam adat istiadat itupun ikut merasakan dampak negatif dari penerapan UU No 5 Tahun 1979 tersebut. Dampaknya, keberdayaan adat dalam tergeser oleh sistem birokrasi pemerintahan yang lebih modern.

Tak hanya soal kultur, UU No 5 Tahun 1979 juga dimanfaatkan rezim Soeharto untuk mengeruk kekayaan desa. Semua pemasukan nagari diambil pemerintah pusat maupun daerah, mulai dari pajak galian C hingga hasil hutan, diambil pemerintah pusat ataupun daerah. Pengerukan dan perambahan hutan terjadi dimana-dimana.

Hal itu membuat rasa apatis dan putus asa masyarakat lokal muncul. Mereka tidak lagi peduli dengan rusaknya sungai yang digali terus atau hutan yang hancur karena kayunya diambil. Dalam pandangan mereka, semua telah menjadi urusan pemerintah. Padahal sejatinya, sistem pemerintahan nagari memiliki aturan tersendiri untuk mengelola kekayaan alamnya. (Kompas, 29/3/2014, Nagari Bisa Mandiri Lagi).

Sebagai dampak jangka panjang, pemerintahan desa kehilangan kemampuan untuk berkembang dengan efektif. Desa beserta masyarakatnya serba dililit keterbatasan, tak lagi mampu untuk merencanakan dan menjalankan pembangunan desa. Apalagi pembangunan yang berstandar kepada partisipasi masyarakat.

Era Reformasi

Jatuhnya kekuasaan Orde Baru tidak serta merta memberikan nafas pembangunan bagi desa-desa dan wilayah setingkat di seluruh Indonesia. Muncul sejumlah produk perundang-undangan, yang meski tidak berkenaan secara langsung dengan desa, namun memiliki dampak yang signifikan.

BACA JUGA :  Ada Desa Bisu, Desa Kepiting, Inilah Desa-Desa Unik Di Indonesia,

Mengacu pada artikel akademik Analisis Undang-Undang Desa oleh Fanani dkk., kebijakan yang dimaksud tersebut adalah UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Meski terdapat proses perubahan peraturan tentang desa, yang terjadi justru kian terpinggirkannya desa dari hak asal-usulnya.

UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan membatasi hak masyarakat desa sekitar hutan untuk mengambil kemanfaatan hutan sebagai sumber kemandirian dan kesejahteraan mereka. Dengan kuasa negara yang begitu besar terhadap hutan, rancang bangun kelembagaan desa adat yang selama ini setia menjaga hutan pun digeser.

Sementara selaras dengan UU Kehutanan tersebut, UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air juga menarik masyarakat desa dari haknya atas sumber daya air. Besarnya kekuasaan negara, yang acapa berpihak pada pasar, berkontribusi terhadap tercerabutnya desa dari haknya atas sumber daya air sebagai kebutuhan dasar masyarakat.

Hadirnya UU Desa lantas menjadi nafas segar bagi desa. Represi Orde Baru telah telanjur merusak desa sebagai sebuah pranata pemerintahan, kultural, dan sosial. Pihak-pihak desa, pun mengharapkan UU Desa dapat menjadi pintu bagi perbaikan. Dukungan ini disampaikan salah satunya oleh Persatuan Rakyat Desa (Parade) Nusantara.

Ketua Umum Parade Nusantara, Sudir Santoso, saat bertemu pimpinan DPR pada awal Desember 2011 mengungkapkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa sangat dibutuhkan agar kedudukan desa tidak abu-abu. Misalnya saja, desa hanya diberikan tugas menyusun perencanaan tetapi tak pernah dimasukkan dalam struktur pemerintahan.

Meski begitu, jalan menuju pengesahan UU Desa jugalah panjang. Dalam masa penyusunan RUU Desa hingga Desember 2011, pemerintah paling tidak sudah dua kali ingkar janji terkait RUU Desa. Menurut Ronald Rofiandri dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, keduanya terjadi pada Juli dan September 2011. Pemerintah menjanjikan kepada DPR akan menyerahkan paket regulasi pemerintahan daerah, tetapi belum juga terwujud (Kompas, 13/12/2011, Jalan Masih Panjang).

Usai jalan panjang, juga disertai dengan sejumlah demonstrasi, UU Desa disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Januari 2014, tepat pada tahun dilaksanakannya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014. Pengesahan UU ini lantas diikuti dengan ragam kegiatan sosialisasi UU Desa ke desa-desa dan aparat terkait.

Salah satu kegiatan adalah acara Sosialisasi Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Desa yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Maret 2014 di Padang, Sumatera Barat. Turut hadir dalam acara tersebut adalah Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemendagri Tarmizi A. Karim, dan Wakil Gubernur Sumbar Muslim Kasim.

Tarmizi mengatakan, UU Desa diperlukan antara lain untuk mengatasi berbagai permasalahan di desa di bidang sosial budaya ataupun ekonomi, termasuk memperkuat desa sebagai entitas masyarakat tersendiri yang mandiri. Tujuan utama dari UU Desa adalah memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa, berikut pula dengan keberagamannya dan untuk melestarikan serta memajukan budaya masyarakat (Kompas, 29/3/2014, Nagari Bisa Mandiri Lagi).

Sejumlah Perubahan UU Desa

Melalui kehadirannya, UU Desa lebih mengedepankan peran desa secara otonom dengan keunikan hak-hak asal usulnya. Untuk itu, terdapat sejumlah perubahan mendasar yang diusung oleh UU Desa. Mengacu kembali pada Sudjatmiko dan Zakaria, perubahan mendasar pertama yang diusung oleh UU Desa adalah mengubah skema, alokasi, dan besaran dana untuk desa. Kini, desa dapat mengonsolidasikan dana desa yang bersumber dari dua sumber, yakni Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD).

ADD adalah bersumber dari pemerintah kabupaten/kota yang untuk mengalokasikan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kemudian meyalurkannya ke ke Rekening Kas Desa (RKD). Sementara Dana Desa bersumber dari pemerintah pusat dengan sumber alokasi dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN). Dari keduanya, desa dapat memperoleh pendapatan minimal Rp 1 miliar per tahun anggaran.

Di luar kedua sumber tersebut, desa juga masih dapat meraup pendapatan melalui sumber-sumber lain. Misalnya adalah Pendapatan Asli Desa (PAD), yang merupakan wujud hasil usaha dari pihak desa secara swadaya yang memperoleh keuntungan. Sumber lainnya bisa pula berupa hubah/sumbangan dari pihak ketiga, seperti misalnya perusahaan swasta. Pada tahun pengesahan tersebut, terdapat 72.944 desa.

Perubahan kedua, adalah dalam konteks jalur birokrasi perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan desa. UU Desa memangkas jalur birokrasi yang panjang dan penuh negosiasi, sektoral dan parsial, menjadi pola satu pintu. Melalui konsolidasi dana desa, perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan desa dapat berjalan komprehensif.

Perubahan ketiga adalah konsolidasi kelembagaan masyarakat desa. Kelembagaan desa dipimpin oleh pemerintah desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa. Ikut membantu kepala desa adalah sekretaris desa dan aparat desa lainnya. Periode jabatan kepala desa mencapai enam tahun dan bisa menjabat maksimal tiga kali periode jabatan.

Dalam kelembagaan ini, UU Desa menempatkan rakyat desa sebagai subjek yang memiliki kedaulatan politik. Baik terhadap supra-desa maupun dalam intra-desa. Masyarakat desa memiliki kedaulatan dalam mengelola sumber daya desa serta memulihkan kegotong-royongan rakyat bangunan desa. Hal tersebut terejawantahkan melalui lembaga BPD.

Terakhir, UU Desa mengamanatkan pembentukan kementerian yang secara khusus menangani urusan desa. Pembentukan kementerian demikian dapat memangkas birokrasi urusan desa yang sebelumnya berada di tangan 14 kementerian sektoral, sehingga dapat mendukung konsolidasi kelembagaan pembangunan desa.

About admin1

Check Also

Bantuan Keuangan Belum Cair, PPDI Bondowoso Rencanakan Gelar Aksi Damai

BONDOWOSO – Bantuan Keuangan (BK) honorarium dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur belum juga cair hingga …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *