Sudah Saatnya Perangkat Desa Bebas Dari Bayang-Bayang KORPRI

Membaca berita tentang kewajiban Perangkat Desa mengenakan seragam batik KORPRI, saya merasa ada yang mengganjal. Di setiap paragrafnya, tak satu pun saya temukan sapaan, apresiasi, atau sekadar basa-basi yang ditujukan kepada Perangkat Desa. Seolah-olah mereka hanya pelengkap, hadir tanpa benar-benar dianggap bagian penting dalam narasi besar pelayanan publik.

Di satu sisi, saya menghargai perjuangan organisasi KORPRI untuk meningkatkan kesejahteraan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan para pensiunan. Hal ini konsisten menjadi fokus utama mereka, termasuk dalam peringatan hari jadi KORPRI dan momentum-momentum lainnya. Namun, ironisnya, saya belum pernah mendengar KORPRI memasukkan Perangkat Desa dalam perjuangan tersebut.

Anehnya, meski Perangkat Desa tak diakui sebagai bagian dari misi KORPRI, masih saja ada instruksi bagi mereka untuk mengenakan atribut batik KORPRI, terutama pada peringatan hari besar nasional. Yang lebih mencengangkan, banyak Perangkat Desa yang dengan patuh melaksanakannya, mungkin karena merasa ini bagian dari kewajiban, meskipun faktanya, mereka tak pernah sepenuhnya diakui. Bukankah ini seperti bertepuk sebelah tangan?

BACA JUGA :  Desak Pencairan 9 Bulan Siltap, Kepala Desa Di Subulussalam Luapkan Emosi Didepan Ruangan Walikota

Saya merasa sudah waktunya regulasi tentang pakaian dinas Perangkat Desa di tingkat daerah direvisi. Desa kini memiliki Undang-Undang tersendiri, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang secara tegas mengatur perangkat dan tata kelola pemerintahan desa. Aturan lama yang masih merujuk pada UU Nomor 32 Tahun 2004 sudah usang dan tak lagi relevan, terutama soal keanggotaan Perangkat Desa dalam KORPRI.

Dahulu, Sekretaris Desa memang berstatus sebagai PNS, tapi sekarang tidak lagi. Lantas, mengapa mereka harus tetap mengenakan seragam organisasi yang jelas-jelas tidak merepresentasikan mereka? Rasanya seperti sedang menonton pawai Agustusan: mereka bukan ASN, tapi mengenakan batik KORPRI. Jika dianalogikan, ini seperti menjadi ASN-ASNan.

BACA JUGA :  Jelang Tutup Tahun 2024, Kajari Nganjuk Panggil Puluhan Perangkat Desa

Sebagai individu yang peduli pada nasib Perangkat Desa, saya merasa prihatin. Banyak dari mereka masih terbelenggu aturan yang seharusnya sudah diperbarui. Ini bukan sekadar soal pakaian, tapi juga soal identitas dan pengakuan terhadap peran mereka yang unik dan penting di level pemerintahan terendah.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti memaksakan Perangkat Desa menjadi sesuatu yang bukan mereka. Mari kita akui mereka sebagai bagian penting dari pemerintahan dengan ciri khas dan regulasi yang sesuai. Seragam hanyalah simbol, tapi pengakuan dan penghargaan adalah esensinya. Apa gunanya mengenakan batik KORPRI jika hanya menjadi simbol tanpa arti?

Malam ini, saya hanya bisa berharap. Semoga gerutu kecil ini menjadi pengingat bahwa Perangkat Desa layak mendapatkan pengakuan yang setara dengan peran mereka di masyarakat.

BACA JUGA :  Pengangkatan Dan Pemberhentian Perangkat Desa, Sejauh Mana Kewenangan Dari Kepala Desa?

(Opini ini ditulis oleh Hendra Juanda, perangkat desa dari Sumedang, Jawa Barat)

About admin1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *