Tradisi Carok Di Madura, Antisipasi Melalui Deklarasi Penghentian Membawa Senjata Tajam

BANGKALAN – Madura dikenal dengan berbagai tradisi budayanya, salah satunya adalah carok, yang selama ini menjadi simbol penyelesaian konflik di masa lalu. Namun, seiring waktu, tradisi ini mulai ditinggalkan karena dianggap tidak relevan dengan kehidupan masyarakat modern.

Budayawan asal Bangkalan, Abah Doing, menjelaskan bahwa praktik carok sebagai duel satu lawan satu kini telah berubah dan bahkan memudar. “Carok sebenarnya sudah tidak ada lagi. Sekarang yang sering terjadi adalah pengeroyokan, yang tentu saja berbeda dari tradisi lama,” ujar Abah Doing dalam sebuah wawancara mengutip tayangan TV One bertajuk “Sejarah Tradisi Carok”.

Menurutnya, pada abad ke-18, carok merupakan jalan terakhir untuk menyelesaikan konflik setelah upaya mediasi dari tokoh agama maupun masyarakat gagal. “Carok dilakukan untuk menjaga harga diri. Istilahnya, etembeng poteh mata, ango’an poteh tolang (lebih baik mati daripada menanggung malu),” tambahnya.

BACA JUGA :  Aneka Tradisi Jawa Yang Masih Melekat Dalam Kehidupan Sehari-hari

Tradisi ini juga diatur dengan kesepakatan bersama, termasuk lokasi duel hingga larangan untuk membalas dendam jika salah satu pihak tewas. “Keluarga maupun tokoh masyarakat biasanya mengetahui dan menyetujui perjanjian tersebut,” jelas Abah Doing.

Namun kini, aksi kekerasan dengan senjata tajam dianggap sebagai pelanggaran hukum, sesuai Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.

Deklarasi Penghentian Membawa Senjata Tajam jenis Sabit (Clurit)

Sebagai langkah nyata menghentikan kekerasan berbasis tradisi, sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda, dan mahasiswa di Bangkalan menggelar Deklarasi Penghentian Membawa Senjata Tajam jenis Sabit (Clurit). Acara yang berlangsung di Pendopo Agung Bangkalan, Jumat (13/12/2024), ini menjadi simbol penting perubahan budaya menuju masyarakat yang lebih damai.

BACA JUGA :  Keraton Surakarta, Sejarah Dan Eksistensi Di Pemerintahan Masa Lampau

Deklarasi ini mencakup komitmen kolektif untuk tidak lagi membawa senjata tajam seperti celurit, yang kerap digunakan dalam aksi kekerasan. Kegiatan ini juga diiringi Seminar Nasional bertema “Peran Kepolisian, Pemerintah, dan Tokoh Masyarakat dalam Menciptakan Budaya Penyelesaian Dendam Akibat Carok Berdasarkan Nilai-Nilai Adab di Madura”.

Seminar tersebut menghadirkan narasumber ternama, seperti Wakil Menteri Hukum RI Prof. Eddy OS Hiariej, Rektor Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya Prof. Dr. Siti Marwiyah, serta budayawan Jawa Timur, D. Zawawi Imron. Acara ini juga dihadiri oleh Ketua PCNU Bangkalan KH Makki Nasir, Pj Bupati Bangkalan Prof. Dr. RM Arief Moelia Edie, dan Wakapolres Bangkalan Kompol Andi Febrianti Ali.

BACA JUGA :  Kehidupan Pedesaan, Mengenal Ciri Dan Karakteristik Unik Dari Desa

Dalam deklarasi tersebut, ada lima poin utama yang disampaikan sebagai bentuk komitmen bersama masyarakat Bangkalan:

  1. Tidak membawa senjata tajam karena melanggar Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
  2. Mengecam tindak kekerasan menggunakan celurit sebagai tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur masyarakat Madura.
  3. Menjunjung tinggi perdamaian, kehormatan, dan kerukunan antar umat beragama di tanah Madura.
  4. Mengutuk segala bentuk kekerasan yang melibatkan senjata tajam.
  5. Berkomitmen mengakhiri tradisi carok yang mencoreng nama baik masyarakat Madura dengan simbolis meletakkan celurit.

Deklarasi ini menjadi langkah penting dalam mengubah cara pandang masyarakat terhadap penyelesaian konflik, sekaligus menghapus stigma kekerasan yang selama ini melekat pada tradisi tertentu di Madura.

About admin1

Check Also

Keraton Surakarta, Sejarah Dan Eksistensi Di Pemerintahan Masa Lampau

Di tempat ini, terdapat sebuah bangsal yang bernama Bangsal Sewoyono. Bangsal ini dibangun oleh Pakubuwono …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *